Friday, October 21, 2011

Travel Alarm (2nd Edition)

Tanpa disadari, dalam kurun beberapa bulan terakhir ini, saya membeli begitu banyak buku dan majalah (P.S : selain booking terlalu banyak penerbangan murah... Ho3x..). Saya memang sejak dahulu gemar belanja buku, makin parah semenjak dibisiki provokasi dari Tante Aquarius untuk meluncur ke situs toko buku online... Alhasil, beragam jenis buku tertata rapi di rak (meski beberapa berserakan di kasur dan meja tivi.. Ha3x..

Diktat penunjang kuliah, buku motivasi, biografi, novel misteri, komik, kisah roman, dan tentunya yang paling banyak adalah mengenai traveling. Baik berupa majalah, panduan perjalanan, novel perjalanan dan bahkan travelogi bergambar.. Cukup menguras uang jajan.. He3x..

Fenomena menjamurnya profesi travel writer tak kalah dengan menjamurnya boyband dan girlband alay. Tentu saja, kondisi nya bisa dikatakan kongruen. Beberapa dibekali dengan kemampuan menulis yang mantab jaya, ada yang sesuai standar dan tentunya tak sedikit yang garing abiess... Gaya dan tampilannya tak kalah ramai, mulai dari atraktif, lumayan, rata-rata, dan ada yang ancur lebur.. Ha3x... Bukan bermaksud menjudge, tapi memang beberapa buku terkesan dipaksakan dan tidak digarap dan dikemas dengan menarik...


Beberapa buku membuat saya tergelitik, ingin mengenal jauh tentang setting yang diceritakan. Ha3x.. Ujung-ujungnya membuat saya semakin sakau untuk jalan-jalan lagi. Eits, saya punya alasan mengapa saya tergoda...

Selimut Debu & Garis Batas

Dua buah novel perjalanan karangan mas Agustinus Wibowo ini memberikan nuansa traveling yang berbeda. Adrenalin menembus selimut debu di tengah perang berkepanjangan cukup terdefinisikan dengan baik dalam penggalan kisahnya menjelajah ranah Afganistan. Ah, ambisi dan ego manusialah yang menjadikan bumi ini penuh dengan debu. Apapun alasannya, peprangan hanyalah wujud kebusukan dari hati manusia yang disembunyikan dalam selimut agama, suku, ras, golongan maupun teorisme.

Sebaliknya, Garis batas tercipta sebagai pengejawantahan semua perbedaan itu. Kesenjangan yang tergambar jelas di perbatasan Asia Tengah mampu diceritakan dengan pengalaman betapa sulitnya mendapatkan visa untuk melintasi perbatasan Tajikistan dan Kirgiztan. Permasalahan klasik tentang negara-negara baru hasil dari pecahan penguasa blok Timur dimuat dalam narasi tentang Turkmenistan, Kazahktan dan Uzbekitan.

Betapa dulunya, jauh sebelum dicaplok USSR, dikawasan Amu Darya ini pernah ada pusat peradaban besar, Samarkand. Dan sayangnya, sekali lagi, kebodohan manusia lah yang merusaknya dan hanya meninggalkan sedikit puing-puing bukti kejayaan kala itu.... Grrrrrrr...

Pengalaman masa lalunya, membuat penulis mampu merasakan bagaimana rasanya menjadi orang terpinggirkan di tengah negaranya dan sebaliknya tetap menjadi orang lain ditengah bangsanya. Ah...., betapa bersyukurnya kita yang berada di tengah masyarakat yang satu bangsa, satu negara dan satu budaya. Minimal, kita beruntung hidup di tengah masyarakat yang saling menghargai perbedaan dan karekteristik masing-masing bagian didalamnya. Toh, perbedaan itulah yang membuat pelangi itu indah...


Zona Aman Gorazde

Menyelami buku ini seperti membawa saya kembali menyingkap fakta dan sayatan lama di kawasan bekas Yugoslavia. Bagaimana sebuah konflik multidimensi yang berakar pada perbedaan ras telah memecah belah persahabatan, kekeluargaan dan terlebih telah menafikan hilangnya makna kemanusiaan. Dua keluarga yang karena batas tipis perbedaan, menjadi saling curiga dan terpaksa memanggul senjata.. Ah..

Lebih mangerikan lagi kondisi Gorazde, salah satu zona aman terakhir Muslim Bosnia yang berada di tengah wilayah kekuasaan Serbia. Terpisah dari Sarajevo, ibukota negara, dan terperangkap dalam ketidakjelasan dan kurangnya perhatian terhadap wilayah ini. Sedikit banyak kita pasti mampu membayangkan dan merasakan penderitaan mereka..

Joe Sacco, seorang jurnalis Amerika sekaligus penulis buku ini, mampu menangkap berbagai perspektif berbeda mengenai kondisi kawasan Bosnia Timur ini ketika perang berkecamuk.


Meskipun, menurut saya, permasalahan seperti ini pasti tak lepas dari berbagai konspirasi yang melibatkan berbagai kepentingan dan kekuatan besar di belakangnya. Ah, rakyat kecil seperti kita dan mereka selalu dijadikan alasan dan alat saja oleh para penguasa lalim..

---------------------------------------------------------------------------

Saya tidak mau Indonesia ini akan kehilangan identitas sebagai bangsa. Bangsa kita harus berkaca. Bhinekka Tunggal Ika ini harus benar-benar di terapkan secara adil dan merata. Kita semua, terutama saya, sudah muak dengan berbagai alasan yang membawa aneka atribut untuk memaksakan suatu persamaan di tengah indahnya keberagaman dan perbedaan. Kita tak butuh persamaan, kita hanya perlu lebih bijaksana untuk menyikapinya..

Saya dan kita semua harus bersyukur dan senantiasa berdoa, bahwa bangsa Indonesia tercinta mampu dan tetap menjaga keindahan ditengah berjuta perbedaan.. Kita harus yakin bahwa bangsa ini akan berubah menjadi lebih baik, bangsa yang tidak hanya maju dan disegani, tetapi menjadi bangsa besar yang beradap dan menjujung tinggi kemanusiaan. Sungguh indah..
Read More »»»

Tuesday, October 18, 2011

Sebuah Perjalanan : Is It Worth Enough

Judul tulisan ini saya ambil dari obrolan seru di milis Indobackpacker. Bagi saya, menarik sekali membaca kisah perjalanan para traveler ini. Tidak hanya sumber informasi, tapi juga mampu menjadi inspirasi, motivasi, dan membuat saya iri setengah mati... Ah....

Forum pecinta jalan-jalan semacam ini memang sayang untuk saya lewatkan. Komunitas yang terdiri dari berbagai latar belakang usia, profesi, status menjadikan pokok bahasan yang lebih obyektif dibandingkan apa yang di tulis di buku panduan perjalanan atau blog pribadi. Aneka ragam motif dan gaya perjalanan : ikut tour, solo traveler, bekpek rame**, flashpacking, honeymoon package, business traveling, maupun naked traveler, menjadikan pilihan data sesuai kebutuhan kita. (NB: Terkecuali yang jalan jalan dari menguras keringat rakyat.. Ha3x..).

Back to topic. Mengenai obrolan sesuai judul di atas, banyak yang curhat mengenai bagaimana memenuhi dahaga akan haus jalan-jalan. Banyak dilema (mungkin juga saya), memutuskan nekat jalan-jalan atau harus rela bergulat mencari uang dan masa depan. Memang, sistem dan kondisi di negara kita ini tidak memungkinkan untuk mudah melenggang kangkung seperti para bule yang bebas ngeloyor keliling bumi, dan bisa kembali ke kerjaannya.. kalaupun jobless ya bakal ditanggung pemerintah. Nasib kita ?? Mau dikatakan apalagi..

Jalan jalan masih mahal (atau dianggap mahal oleh budaya kita). Meski saya bilang Kontradiksi. Kita mampu nyicil motor saat diterima kerja, rela ngredit mobil setelah 3 tahun bekerja, dan setia dengan promo 0% untuk upgrade gadget terbaru dan tercanggih. Konsumtif.. NB : saya tidak sebut setengah mati bayar angsuran KPR, karena itu memang investasi... (asalkan bukan karena alasan gengsi..).. Tapi, hidup ini memang hanya sebuah pilihan.. So, U are U...

Dari obrolan topik ini, banyak kisah sukses para Nekat Traveler yang memutuskan keluar dari comfort zone nya. Resign, untuk melanjutkan petualangannya dan berhasil mendapatkan penghidupan yang berkecukupan dengan pekerjaan yang sesuai passion mereka. Apakh kita harus begitu ? Ngaca duluuuu... Semua kisah sukses memang diawali dengan niat kuat (meski beberapa memang si lucky), tapi apakah cukup hanya niat ?? Tidak bisa... Mengetahui kemampuan diri sendiri, kelebihan dan kekurangan kita, sebelum membulatkan tekad untuk menentukan hati.

Si A bisa kok resign, sekarang jadi dapat penghasilan jadi travel writer. Tuh, Si Dia juga akhirnya sukses keliling dunia dan dapat uang dari guide orang. Noh, C dapat pasangan bule dan keliling bareng... Hmmmm... Kisah sukses mereka tentunya tak langsung berbuah manis. Dan apakah kita punya passion dan bakat dsana... Kalo nuruti jalan-jalan, siapa yang tidak mau...Bukannya takut atau menakuti, hanya apakah kita siap atau belum dengan risiko...

Bagaimana saya sendiri ? Hmmm.. Saya juga masih belum seberani rekan backpacker yang sukses bermigrasi. Masih banyak yang harus dikompromikan.. Tapi, insya allah saya berada di right track untuk sesuatu yang menurut saya lebih baik dan saya inginkan. Muncul motivasi besar, yang dulu sempat redup karena saya terlena oleh status quo. Semangat menggelitik untuk tak lagi menjadi katak yang terperangkap tempurung..

Saat ini, saya sudah puas dengan langkah saya untuk mengajukan cuti besar. Menjadi yang pertama mengajukan di Departemen saya, atau mungkin juga numero uno ntuk karyawan baru. Maklum, hak libur ini masih bisa ditukarkan dengan gaji jika kita rela mengembalikannya ke HR. Ha3x... Peraturan sisa kolonial... Akan saya revisi ketika saya jadi HR Manager kelak.. Ha3x...

Pertanyaan, komentar, sindiran atau apapun yang masuk hanya seperti angin lalu bagi saya. "Gak butuh duit ?" Yaelah, saya jalan-jalan jelas butuh duit banyak.. "Ambil aja, mumpung masih bujang".. Hadoww.. emang kalo udah nikah, duit segalanya.. Sudahlah, toh prinsipnya kan semua pingin nyari kesenangan.. Bagi saya, duit memberikan segalanya, tapi traveling memberikan apa yang saya perlukan.. Dan saya tak perlu segalanya..

So, Is It Worth Enough ? Yessss, It Is....
Read More »»»

Wednesday, October 05, 2011

When September Ends..

Mungkin bukan benar-benar September. Karena pernyataan "selesai" itu keluar 29 Agustus. Tapi perkataan langsung bahwa semua telah benar-benar selesai keluar 4 September, 2 hari menjelang 2,5 tahun komitmen kami.

Berat pastinya... Tapi, mau dikatakan apa lagi.. Saya juga tidak mungkin untuk mengharapkan belas kasihan dia atau memaksakan perasaannya untuk saya.. Saya akan bangkit ketika September telah berakhir.. Toh, memang hidup akan terus berjalan, kita mau ikut melaju atau tertinggal dan ditinggalkan..

----------------------------------------------------------------------------------------
Semua usaha telah saya lakukan. Usaha terakhir untuk memperbaiki semua juga telah gagal. Bersedih saya rasa sudah cukup. Semua mampu tertutup dengan beberapa pengalihan perhatian. Dukungan teman-teman juga telah membantu membuat saya lebih bijaksana untuk menerima.

Sekarang sudah Oktober. Meski belum sepenuhnya ikhlas, saya sudah mulai memahami ini yang terbaik untuk kami, untuk saya juga tentunya. Yang penting, saya sudah percaya bahwa semuanya sudah pada track yang tepat. Sekarang saatnya saya mengejar apa yang memang seharusnya saya kejar. Saya bahagia karena kejadian ini tidak merubah saya. Saya tetap orang yang percaya "miracle".

Tulisan ini mungkin tanda bahwa saat ini saya belum sepenuhnya sembuh. Tapi, saya percaya suatu saat saya akan menulis "Goodbye my lover".

Read More »»»