Thursday, June 27, 2019

Istanbul: Sebuah Bucket List

Kalo mengaku backpacker atau menyebut diri seorang traveler, kita pasti sering mendapat pertanyaan "Jalan kemana lagi abis ini?". Paling tidak, kita pernah ditanya "Liburan kemana tahun ini?". Saat ini, traveling atau liburan memang sudah menjadi bagian dari gaya hidup.

Mulai dari melepas kejenuhan, membangun quality time bersama keluarga, memanfaatkan cuti, sampai dengan mempelajari arsitektur atau mengenal kebudayaan di dunia. Kalopun cuma pengen belanja, wisata kuliner atau meramaikan konten Instagram juga wajar saja. Jalan - jalah mah bebas.


Sejarah Peradaban

Pada awal suka traveling, saya selalu memasukkan Turki sebagai salah satu tujuan impian. Meski beberapa kali harus dijadwalkan ulang dengan berbagai alasan, negeri ini selalu menjadi bucket list setiap tahun. Sebenarnya, Istanbul-lah yang menjadi tujuan utama saya. 

More than happy

Ketika belajar sejarah bangsa - bangsa di dunia, Istanbul memiliki tempat tersendiri dalam catatan peradaban. Mulai jaman Kekaisaran Romawi, Perkembangan Islam, Politik Dunia, sampai cerita setengah fiksi seperti Dracula.

Kota yang dulu bernama Konstantinopel ini juga nampak dalam beberapa adegan film, sebut saja Inferno, Taken 2, dan Skyfall.  Bahkan, adegan kehancuran dunia seringkali menampilkan salah satu sudut Instanbul. Mulai dari Armageddon sampai salah satu scene film 2012. Film nasional juga tidak ketinggalan mengangkat seting di kota ini, seperti dalam 99 Cahaya di Langit Eropa. Istanbul memang memiliki pesona tersendiri.

Ketika kesempatan datang dan tawaran tiket terjangkau, saya langsung ambil tanpa berpikir panjang.  Selain tidak pusing memikirkan itenerary karena sudah tahu apa yang ingin saya kunjungi, kurs Turkish Lira juga sedang turun karena krisis ekonomi.

Ditambah, WNI cukup mengurus online visa untuk mengunjungi negeri yang terletak di dua benua ini. Proses memperoleh e-visa pun cukup mudah, selesai dalam 10 menit dengan membayar online sebesar USD 25.

Ada Apa di Istanbul?

Pertama mendarat di Bandara Ataturk, Istanbul, saya sudah menemukan bukti bahwa negeri ini memang salah satu destinasi wisata favorit. Banyak sekali penerbangan asing menuju kota ini. Bahkan, suasana masih ramai sekali ketika saya mendarat lewat tengah malam. Tak salah maskapai plat merah, Turkish Airline berani mengklaim "Flying to The Most Country"

Berburu Medusa
Sembari menunggu airport train yang mulai beroperasi jam 6 pagi, saya menunggu di Starbucks yang ada di bagian kedatangan. Daripada ngantuk dan kedinginan, saya pesan Turkish Coffee yang surprisingly enak.

Sayang, password wifi di bandara hanya diberikan bagi mereka yang memiliki boarding pass keberangkatan. Segera, saya nyalakan portable modem yang saya sewa dari Surabaya. Saya memilih sewa modem karena kecepatan internet di Turki terkenal lemot parah. 

Mengenai Istanbul, rasanya tidak perlu saya jelaskan pesonanya. Setelah menitipkan backpack di Hostel, saya segera berkeliling ke beberapa destinasi. Hagia Sofia, Blue Mosque, Istana Topkapi saya jelajahi dengan membeli one day pass untuk beberapa destinasi. Sedikit lebih mahal, tapi saya memilih hemat waktu antri dengan membeli tourist pass ini. 

Salah satu destinasi utama di hari pertama adalah Yerebatan Sarnici. Lokasi yang menjadi akhir petualangan Prof. Langdon di film Inferno (di film disebut Yerebatan Sarayii). Yerebatan Sarnici atau Basilica Cistern adalah waduk bawah tanah terbesar yang dibangun pada masa pemerintahan Kaisar Justisianus. Lumayan pegal untuk menemukan kepala Medusa di dalam waduk ini. 

Burger Kukus & Scam

Di hari kedua, saya mengawali perjalanan dengan menikmati Turkish Chai di bagian sudut Taksim Square. Cuaca dingin membuat saya semakin malas dan hanya ingin bersantai menikmati teh hangat didampingi beberapa potong Baklava.

Kurang nikmata apa lagi?
Ketika mulai hangat, saya melihat kedai makanan di seberang sudah buka. Benar, saya menunggu untuk mencoba Islak Hamburger alias burger kukus yang muncul di tayangan Street Food Around The World. Dan ternyata, satu potong belum kenyang..

Jadwal saya di hari kedua ini cukup padat, mulai dari berbelanja di Grand Bazaar, mengunjungi Galata Tower dan menyeberangi Selat Bosporus.

Terus terang, saya selalu mengalami sedikit insiden dalam setiap perjalanan. Setelah gagal mencoba hamam karena kesasar, saya juga kena tipu oleh rayuan pedagang turkish delight di Grand Bazaar.

Kurang hati - hati tidak menanyakan harga barang, saya terpaksa membayar hampir 200 USD untuk berbagai oleh-oleh yang saya beli. Soal duit memang bisa dilupakan, tapi berat ransel saya semakin bertambah. Terpaksa sebagian saya pindahkan ke tas jinjing. 

Tidak hanya itu, saya juga harus mengikhlaskan tongsis saya rusak saat jatuh di sekitar Galata Tower. Sudahlah, saya batalkan ikut mengantri ke puncak tower. Selain terlalu panjang, perkiraaan butuh waktu satu jam. Mending saya nongkrong menikmati cemilan sore untuk mengembalikan mood.

------------------------------------------------------------
Ditulis sejak 27 Juni 2019, selesai 25 Maret 2020
Read More »»»