Wednesday, October 14, 2020

Vamos Chile

Seberapa berani kita untuk mewujudkan mimpi? Mari kita kecilkan skala, senekat apa kita merealisasikan keinginan? Selaras dengan keberanian, batas ketakutan akan terus berubah. Ketika mulai berjalan, kita takut untuk melangkah tanpa berpegangan. Ketika belajar sepeda, kita menangis saat terjatuh karena roda tambahan dilepas. Artinya, limit keberanian kita akan bertambah saat berhasil mengatasi rasa takut dan akhirnya menguasai suatu keahlian. 

"If your dreams not scare you, they are not big enough"
(Ellen Johnson Sirleaf)

Bagaimana dengan traveling? Saya pernah takut untuk traveling sendirian ke Bali. Benar, hanya ke Bali. Saat itu, saya memang belum pernah liburan sendiri dan khawatir tidak bisa menikmati perjalanan seorang diri. Berawal dari tahun 2010, saya memberanikan diri solo traveling ke Derawan. Sebenarnya, gak full sendirian juga karena gabung open trip

Lanjut di tahun 2011, saya sikat tiket promo ke Penang. Lagi-lagi solo traveling karena susah cari teman yang jadwalnya cocok. Dengan persiapan ribet, parno takut ilang pasport, duit kurang, atau bahkan jatuh sakit, trip ini justru membuat saya mulai menikmati kenyamanan ngebolang. 

Selanjutnya, saya semakin sering melakukan solotrip, mulai Thailand, Filipina, dan Hongkong. Biar gak bosen dan merasakan pengalaman berbeda, saya juga mulai bergabung bersama komunitas traveler di Indobackpacker. Bersama rekan komunitas, saya pernah traveling bertiga ke Myanmar dan berdua saja ke Kamboja. 

Pertama foto di Eropa 

Rasa takut akan kalah sama efek adiktif dan pastinya pengalaman. Kepuasaan, pelampiasan hasrat, pembuktian diri, maupun perasaan bangga menjadi pemanisnya. Berbagai rasa ini yang menjadi pendorong saya untuk melakukan perjalanan 12 hari keliling 9 kota di Eropa sendirian. Rasanya tidak percaya, akhirnya saya bisa menjelajah benua biru sendirian. Persiapan dan pengalamannya? Jangan tanya, panjang dan seru.. Cerita lengkap ada di tulisan sebelumnya ya. Hahaha...


Nothing to Fear 

Anehnya, perasaan takut solotrip ini kembali muncul setelah 5 tahun berlalu. Kembali ke awal, saya menjadi banyak pertimbangan, kepengen praktis dan malas untuk persiapan matang. Kenapa ya? Kalo boleh dicek, saya praktis tidak pernah solo traveling pada rentang waktu 2014 - 2018. Bahkan, pasport kebanyakan nganggur selama kurun 2016 sampai petengahan 2018. Sempat mau ke Eropa Timur di awal tahun 2017, tapi batal karena saya harus terbaring di RS.  

Apabila saya flashback, banyak hal telah menyita berbagai momentum penting selama periode tersebut. Apakah saya merasa menyesal? Hmm..mungkin tidak. Akan tetapi, keadaan memang harus diperbaiki. Lebih tepatnya, diseimbangkan. Tapi bagaimana? Perlu suatu momen untuk mendobrak kebuntuan ini, sehingga menemukan perasaan excited kembali dalam solo traveling. 

Pan Americana Highway
Akhirnya datang juga, momen untuk berhenti sejenak dan memompa semangat. Apalagi kalau bukan tambahan dosis. Benar, saya kembali nekat solotrip. Kemana? Agar lebih menarik, saya memilih Amerika Latin, tepatnya Chile. Kenapa Chile? Simple, saya punya teman-teman di sana, penerbangan hanya transit satu kali serta tersedianya tiket yang "agak" murah. Sebenarnya, saya pengen ke negara lainnya, seperti Brazil, Peru dan Argentina. Namun, kondisi belum memungkinkan. Satu lagi alasan penting, Chile bebas visa untuk WNI. Yeayyyy...

Setelah issued tiket 3 bulan sebelumnya, saya berangkat ke Santiago visa Singapore dan transit di Sidney. Berangkat 3 hari setelah lebaran, saya sempat ragu untuk solotrip ini. Alasannya? Saya demam di hari kedua lebaran. Badan panas dingin dan lemas. Saat di Singapore, saya pun masih demam. Agar tubuh lebih enakan, saya keliling di Garden by The Bay sembari menunggu penerbangan jam 9 malam. Alhamdulillah, koper bisa dititipkan di bandara dengan biaya SGD 10 per item (tergantung ukuran).

Raise Your Coffee

Saya tidak akan bercerita banyak mengenai Santiago maupun Valparaisso, karena tidak banyak yang sempat saya eksplor. Kegiatan yang paling menyenangkan selama traveling adalah nongkrong dan bercerita dengan teman-teman Chilean saya, mengenal bagaimana kehidupan di Santiago berjalan, dan merasakan Piscola kebanggaan mereka. Lucunya, mereka sampai berselisih mengenai asal usul Pisco ini, milik Chile atau Peru. 

Selain mencoba berbagai makanan lokal, saya merasakan sensasi damai saat memandang Samudra Atlantik dan merasakan hembusan angin dingin Valparaisso, salah satu kota pelabuhan terbesar pada masanya. Perdagangan dan pelabuhan di kota ini sudah tidak sebesar dahulu karena adanya Terusan Panama. Sejak 1914, jalur pelayaran dari Pasifik ke Atlantik atau sebaliknya tidak perlu mengitari benua dan melewati Valparaisso. 

Jalan santai mengelilingi kota, mampir sejenak di berbagai kafe lokal terasa menyenangkan. Bahkan menyeruput iced americano Starbucks pun terasa nikmat setelah kecapekan berkeliling Plaza de Armas. Berbagai sajian kafe selama transit di Auckland dan Sidney pun terasa menyenangkan. Satu lagi pengalaman seru, penerbangan melintasi Samudra Pasifik dengan berbagasi jenis aircraft, mulai A340, B747, B777, dan A380. Jangan tanya turbulensinya, deg deg ser. 

--------------------------------

Ngopi di Santiago
Saya  hanya ingin sharing. Kita pasti merasakan kepuasaan atau "hanya lega" bisa melakukan suatu keinginan atau mimpi. Apakah ini yang namanya passion? Entahlah, saya juga tidak paham dan tidak mau pusing memikirkannya. Satu yang jelas, rasa senang dan menyesal seringkali bercampur menjadi  satu. Kenapa ada sedikit penyesalah? Realistis saja, kehidupan harus seimbang. Sebagian waktu kita memang perlu digunakan untuk mengejar berbagai pencapaian. Sayangnya, terkadang kita melupakan apa yang sebenarnya kita inginkan dan membuat kita bahagia.

Ingat, seperti secangkir kopi. Kita tidak akan merasakan nikmatnya hidup kalo tidak menikmati sedikit pahitnya. Hahaha.. Ngopi kemana lagi kita??

--------------------------------------
Bintaro Exhange Mall, Djournal Coffee
Read More »»»