Friday, January 02, 2009

Kisah Inspiratif

Kisah ini mungkin sudah banyak di forward dalam milis-milis dan diposting dalam forum-forum online. Kita tidak perlu mencari fakta akan kebenaran ceritanya atau hanya hasil karangan seseorang. Kisah ini layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara ”Mencintai Sesama dengan Memanfaatkan Sedikit Harta-Benda yang Kita Miliki, dan Bukannya Mencintai Harta-Benda yang Bukan Milik Kita, dengan Memanfaatkan Sesama!”

----------------------------------------------------------------------------------------
Bagian Satu

Saya baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas.

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami dan anak bungsu saya yang menunggu di taman halaman kampus untuk pergi kerestoran McDonald's di sekitar kampus. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, mendadak setiap orang di sekitar bergerak menyingkir, bahkan orang yang semula dibelakang saya ikut menyingkir. Suatu perasaan panik menguasai diri saya. Saya berbalik dan melihat mengapa mereka semua menyingkir. Saya mencium "bau badan kotor" yang cukup menyengat. Ternyata, tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Saya menunduk. Tanpa sengaja, mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya. Ia "tersenyum" kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam tapi memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu. Ia menyapa "Good day!", sembari tetap tersenyum dan menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya.

Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki itu menderita defisiensi mental, dan lelaki bermata biru adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal kami bertiga dan tiba-tiba saja sudah sampai didepan counter.

Waktu wanita muda di counter menanyakan pesanan kepada saya, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itu yang mampu dibeli (sudah menjadi aturan restoran disini, jika ingin duduk dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Mendadak saja, saya diserang rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat. Mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu lainnya yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya. Saya tersadar setelah petugas di counter menyapa saya untuk ketiga kalinya, menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya”. Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anakku! " Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."

---------------------------------------------------------------------------
Bagian Dua

Saya kembali ke college pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain ?". Dengan senang hati, saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya, dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswa pun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki dalam membawakan ceritanya, sang dosen membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung. Para siswi yang duduk di deretan belakang, didekat saya diantaranya, datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya.
"Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."

1 comment:

Anonymous said...

Hello. And Bye.